Kereta ekonomi dihapuskan, proyek besar PT KAI, kepada siapa warga jabodetabek harus mengadu ?
Warga jabodetabek tengah menyaksikan penggusuran yang telah dilakukan PT kai. Entah apa yang ada di benak mereka sampai-sampai penghapusan kereta ekonomi dan pedagang stasiun kereta kampung lingkar stasiun digusur secara paksa dengan menggunakan kekerasan dan teror. Bagaimanakah nasib pedagang kios di sekitar peron ? Apakah kehidupan mereka terjamin setelah ini ? Apa karena hanya demi meraup keuntungan yang besar dari proyek kereta api bandara soekarno hatta ?
KRL Jabodetabek bukan cuma urusan PT. KAI semata. Stasiun kereta api bukan hanya setopan semata. Dia adalah bagian dari infrastruktuk kota dan memiliki fungsi sosial yang penting bagi ruang hidup warga, penumpang, pedagang, serta kampung sekitar stasiun.
Protes terus ? "Gue hapus stasiun lo dari peta!" Dalam koran Tempo edisi 24 April 2013, dirut PT. KAI, Ignasius Jonan, mengancam akan menutup Stasiun UI dan Pasar Minggu, karena keberadaan pedagang kios disana yang menolak penggusuran. Ayo pikir. Pantaskah PT KAI selayaknya melakukan hal itu ?
Pada akhir tahun anggaran 2007 , terdapat pernyataan resmi dari PT. KAI bahwa anggaran proyek KA Bandara Soekarno hatta adalah Rp 4,6 triliun, lalu pada bulan maret tahun 2010, Tender Indonesia menyebutkan akan ada evaluasi ulang nilai investasi proyek KA Bandara Soekarno-Hatta sehingga pada bulan April 2013, Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menyakatan bahwa nilai investasi proyek KA bandara Soekarno-Hatta telah jauh menggelembung sebesar 23 triliun. Apakah dana sebesar itu sudah memenuhi keselamatan manusia dan fungsi-fungsi sosial stasiun sebagai infrastruktur dan ruang hidup publik ?
Sekilas tentang PT kai
PTM kerata api indonesia (persero) berawal dari pembangunan rel pertama atas perintah Hindia Belanda di desa Kemijen, Semarang di tahun 1864. Perusahaan kereta api swasta di Indonesia terus berkembang hingga diambil alih oleh Jepang di tahun 1942. Saat proklamasi Kemerdekaan, karyawan perusahaan kereta api yang tergabung dalam (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretapian dari Jepang dan pada tanggal 28 September 1945 membentuk Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). DKARI kemudian diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), yang berubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (Perumka), dan sejak tahun 1999 diubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
seperti sekarang. Proses pergantian nama ini bukan bersifat seremonial belaka, namun ia menggambarkan sejarah privasi di tubuh PT. KAI. UU 23/2007 tentang perkeretapian membuka pintu bagi pihak swasta untuk terlibat dalam bisnis layanan perkeretaapian. UU itu juga menempatkan pengguna layanan kereta api sebagai konsumen, yaitu orang yang membeli karcis, bukan lagi rakyat (warga negara) yang butuh layanan kereta api. Ide privatisasi perkeretaapian ini makin nyata dengan keluarnya Perpes No. 83/2011 yang menegaskan bahwa dalam proses penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian -termasuk pengadaan lahan- untuk proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta (alm), yang bernilai hingga Rp. 23 triliun, PT. Kai tidak boleh lagi menggunakan dana APBN dan APBD. Artinya, supaya PT. KAI tetap berjalan, ia harus mencari sumber pendanaan itu melalui fungsi layanan yang dibisniskan. Privatisasi ini sangat berbahaya bagi publik. Layanan kereta api sepenuhnya berorientasi bisnis, dan yang menanggung resiko adalah rakyat. Harga tiket disesuaikan dengan mekanisme pasar, pedagang kios stasiun digusur paksa dan digantikan oleh pemodal besar.
Sumber , berita stasiun 01 mei 2013
No comments:
Post a Comment